Kategori:
Grand Slipi Tower, Unit 36-E Perkantoran. Jalan. Kota Adm Jakarta Barat
Grand Slipi Tower, Unit 36-E Perkantoran. Jalan. Kota Adm Jakarta Barat


Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)
Ketika sebuah perusahaan wajib pajak kehilangan haknya untuk mengajukan keberatan atas tagihan pajak Rp 5,14 miliar hanya karena cara pengadilan membaca prosedur, itu bukan lagi sekadar soal kalah-menang. Itu sudah masuk ke wilayah: apakah pengadilan masih bisa dipercaya sebagai benteng terakhir wajib pajak?
Itulah yang saya lihat dalam putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-007055.99/2024/PP/M.XIVA dalam perkara PT Arion Indonesia vs Direktur Jenderal Pajak, yang dipimpin oleh Hakim Ketua Dudi Wahyudi, Ak., M.M. bersama dua hakim anggota. Putusan tanggal 19 November 2025 ini menolak gugatan PT Arion Indonesia dan secara praktis menutup pintu upaya hukum atas SKPKB PPh Badan kurang bayar sebesar sekitar Rp 5,14 miliar.
Masalahnya, putusan ini bukan sekadar “tidak menguntungkan wajib pajak”. Sejumlah analisis hukum menyebut putusan ini diduga sarat judicial error dan bahkan berpotensi melanggar ketentuan eksplisit dalam UU Pengadilan Pajak.
Sebagai Ketua Umum IWPI, saya berkewajiban mengatakan dengan terang:
kalau pola seperti ini dibiarkan, setiap wajib pajak bisa bernasib sama — digilas prosedur, diabaikan buktinya.
1. Putusan Tipis di Atas Tumpukan Bukti
Mari lihat dulu gambaran kasarnya:
Padahal nominal yang dipersoalkan mencapai Rp 5,14 miliar, terkait hak konstitusional wajib pajak untuk mengajukan keberatan atas SKPKB.
Perbandingan ini saja sudah menimbulkan pertanyaan mendasar:
Bagaimana mungkin ratusan halaman bukti, argumentasi, kesaksian saksi dan ahli bisa “diselesaikan” hanya dalam putusan 36 halaman — tanpa uraian memadai atas setiap alat bukti?
Itu bukan sekadar masalah estetika tebal-tipis.
Menurut analisis ahli (Dr. Alessandro Rey dan tim), banyak alat bukti kunci tidak dimuat dan tidak dinilai secara eksplisit dalam putusan, padahal putusan tetap menyatakan seolah-olah telah mempertimbangkan seluruh bukti.
Di sini, persoalannya menyentuh langsung Pasal 84 ayat (1) huruf f UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang mewajibkan putusan memuat pertimbangan dan penilaian terhadap setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi di persidangan. Beberapa analisis berpendapat kewajiban normatif ini tidak tampak terpenuhi secara nyata dalam putusan Arion.
2. Enam Dugaan Judicial Error yang Menghantam Wajib Pajak
Berdasarkan kajian terhadap putusan dan berkas perkara, pihak PT Arion Indonesia dan para ahli merinci setidaknya enam jenis kekeliruan serius (judex facti errors) yang diduga dilakukan majelis yang diketuai Dudi Wahyudi:
Jika daftar ini benar, kita tidak sedang bicara selisih tafsir biasa, melainkan cacat serius dalam cara hakim membangun keyakinan. Dalam istilah yang tajam tapi akurat: keyakinan hakim menjadi arbitrary — tidak lagi bersandar pada penilaian menyeluruh atas semua bukti.
3. Ini Bukan Insiden Tunggal: Arion Sudah Pernah Menggugat Majelis Hakim Pajak
Kasus ini makin mengkhawatirkan kalau kita melihat rekam jejak sengketa Arion dengan Pengadilan Pajak.
Sebelumnya, PT Arion Indonesia sudah pernah menggugat Majelis Hakim IIIA Pengadilan Pajak ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan perkara 165/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst, karena menilai hakim sengaja menghilangkan alat bukti krusial (pendapat ahli) dari pertimbangan putusan sengketa pajak sebelumnya.
Dalam gugatan itu, kuasa hukum Arion menegaskan:
Artinya, pola persoalannya sama: alat bukti penting dianggap “hilang” di putusan.
Kini, pola serupa kembali muncul di perkara yang diketuai Dudi Wahyudi.
Bagi saya, ini bukan lagi soal satu majelis atau satu perkara.
Ini alarm keras bahwa ada sesuatu yang sangat salah di dalam cara sebagian hakim pajak memproses bukti dan menyusun putusan.
4. Latar Belakang Hakim dan Jejak Fiskus: Konflik Kepentingan Struktural
Di titik ini, wajar kalau publik bertanya: apakah hakim benar-benar berdiri sejajar antara negara (fiskus) dan wajib pajak?
Dalam profil pribadinya, Dudi Wahyudi menjelaskan bahwa ia telah lebih dari tiga dekade berkarier di dunia perpajakan Indonesia, mulai dari Pemeriksa Pajak dan Account Representative DJP, kemudian Kepala Seksi, Widyaiswara di Pusdiklat Pajak, dan dosen PKN STAN, sebelum akhirnya menjadi hakim Pengadilan Pajak.
Di sisi lain, dalam artikelnya di DDTC News berjudul “Hakim Pajak: Keahlian Generalis atau Spesialis?”, Dudi sendiri menulis bahwa:
Jadi, bukan saya yang pertama kali menyebut risiko konflik kepentingan itu —
Hakim Dudi sendiri sudah mengakuinya secara terbuka dalam tulisannya.
Persoalannya: ketika dalam praktik ada putusan-putusan yang secara kasat mata tampak mengabaikan bukti penting dari pihak wajib pajak, persepsi konflik itu tidak lagi sekadar teori. Ia menjelma menjadi kecurigaan nyata di mata wajib pajak:
“Apakah hakim pajak diam-diam masih berpikir sebagai ‘orang fiskus’ ketika berhadapan dengan wajib pajak?”
Ini berbahaya. Sebab kepercayaan kepada Pengadilan Pajak bukan cuma soal kecakapan teknis, tetapi juga jarak psikologis dari otoritas fiskal.
5. Putusan MK 26/PUU-XXI/2023: Mandat Reformasi yang Lamban Dijalankan
Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah membaca problem struktural ini jauh-jauh hari.
Melalui Putusan MK No. 26/PUU-XXI/2023, MK menyatakan bahwa:
Kajian DDTC dan LeIP juga menegaskan bahwa putusan MK ini adalah landmark penting untuk mengakhiri kondisi “dua atap” di mana Pengadilan Pajak secara struktural masih berteduh di bawah Kemenkeu, sementara secara fungsi seharusnya tunduk pada Mahkamah Agung.
Selama atap administratif dan keuangan masih di Kementerian Keuangan — yang notabene pihak yang paling sering menjadi lawan wajib pajak di Pengadilan Pajak melalui DJP — potensi benturan kepentingan struktural akan selalu menghantui.
Kasus Arion yang diputus Dudi Wahyudi justru muncul di tengah masa transisi menuju satu atap Mahkamah Agung. Alih-alih memberi sinyal perbaikan, ia malah memperkuat kesan lama:
Pengadilan Pajak masih terlalu dekat dengan fiskus, terlalu jauh dari wajib pajak.
6. Mengapa Kasus Ini Berbahaya bagi Semua Wajib Pajak
Sebagian orang mungkin berpikir:
“Ah, ini kan kasus satu perusahaan. Urusan mereka saja.”
Sayangnya, tidak sesederhana itu.
Kasus Arion mengandung beberapa preseden berbahaya:
Jika hari ini PT Arion Indonesia bisa kehilangan hak keadilan di pengadilan, besok bisa siapa saja:
Keadilan pajak yang rusak di pengadilan akan merembet ke krisis legitimasi pemungutan pajak itu sendiri. Sulit meminta masyarakat patuh kalau ketika bersengketa, mereka merasa dilawan bukan hanya oleh fiskus, tapi juga oleh lembaga yang seharusnya netral.
7. Tuntutan Keras, Tapi Konstitusional
Supaya “keras tapi aman hukum”, tuntutan saya jelas dan terukur:
1. Pemeriksaan Kode Etik dan Yudisial terhadap Majelis
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung perlu:
Ini bukan serangan personal kepada Dudi Wahyudi sebagai individu.
Ini adalah uji integritas kelembagaan Pengadilan Pajak.
2. Percepatan Implementasi Putusan MK 26/PUU-XXI/2023
Pemerintah dan Mahkamah Agung harus:
3. Reformasi Rekrutmen Hakim Pajak
Mengambil langsung dari kegelisahan yang juga diakui Dudi Wahyudi dalam tulisannya sendiri: komposisi hakim yang didominasi mantan pegawai DJP dan Bea Cukai menimbulkan persepsi konflik kepentingan.
Karena itu:
4. Keterbukaan Data Putusan Pengadilan Pajak
Publik berhak tahu:
Data ini penting untuk memastikan bahwa Pengadilan Pajak tidak menjadi benteng fiskus, melainkan penjaga imbang antara negara dan warga negara.
Penutup: Hakim Pajak Harus Berada di Pihak Keadilan, Bukan di Pihak Siapa Pun
Saya ingin menegaskan:
tulisan ini bukan ajakan untuk membenci individu, apalagi menghakimi pribadi Hakim Dudi Wahyudi.
Yang saya persoalkan adalah:
Dalam tulisannya, Dudi Wahyudi menggambarkan Pengadilan Pajak sebagai “ruang operasi jantung” yang sangat spesialis, di mana hakim pajak memegang pisau bedah keadilan.
Kalau begitu, sebagai warga negara dan sebagai Ketua IWPI, saya hanya ingin mengingatkan:
Pisau bedah itu seharusnya tidak dipakai untuk “mengoperasi” hak-hak wajib pajak sampai habis —
melainkan untuk memotong ketidakadilan, baik yang datang dari fiskus maupun dari kelemahan sistem peradilan itu sendiri.
Selama putusan seperti dalam perkara PT Arion Indonesia masih terjadi, kita berhak bersuara keras.
Bukan untuk merusak marwah pengadilan, tetapi justru untuk menyelamatkan marwah keadilan pajak di Republik ini.
Kategori: