Kategori:
Grand Slipi Tower, Unit 36-E Perkantoran. Jalan. Kota Adm Jakarta Barat
Grand Slipi Tower, Unit 36-E Perkantoran. Jalan. Kota Adm Jakarta Barat


Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)
Artikel “Hakim Pajak: Keahlian Generalis atau Spesialis?” karya Dudi Wahyudi, Hakim Pengadilan Pajak, mengajak kita membayangkan pengadilan pajak sebagai “ruang operasi jantung” dan hakim pajak sebagai “dokter bedah jantung spesialis”.
Analogi ini terdengar keren, tetapi justru di situlah letak masalah seriusnya.
Dalam dunia kedokteran, tidak ada dokter spesialis jantung yang sah tanpa terlebih dahulu menjadi dokter umum, menjalani pendidikan dasar kedokteran, koas, dan uji kompetensi. Jika ada orang yang mengaku spesialis, tetapi tidak pernah lulus kedokteran umum, kita menyebutnya dokter gadungan.
Namun dalam tulisan tersebut, Dudi justru membenarkan desain hukum yang memungkinkan hakim pengadilan pajak diisi oleh “sarjana lain” yang bukan sarjana hukum, selama punya keahlian teknis perpajakan. Ia mengutip Pasal 9 UU 14/2002 yang menyebut syarat hakim pajak adalah “mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain”.
Di sini logikanya mulai bergeser:
kita diminta percaya pada “dokter spesialis” yang boleh tidak pernah kuliah kedokteran – cukup pandai membaca hasil EKG dan laporan laboratorium.
Opini ini bukan hanya problematis, tetapi berbahaya bagi masa depan peradilan pajak dan hak-hak wajib pajak.
1. Analoginya Tepat, Tapi Kesimpulannya Terbalik
Jika kita konsisten dengan analogi dokter jantung, seharusnya pesan yang muncul adalah:
“Hakim pajak harus spesialis di atas fondasi keilmuan hukum yang kuat,
bukan spesialis teknis tanpa basis hakim yang benar.”
Dalam praktik kedokteran:
Dudi mengakui sendiri bahwa UU Pengadilan Pajak adalah “penyimpangan sadar” dari tradisi peradilan lain: hakim boleh dari sarjana non-hukum, asalkan paham pajak.
Jadi sebenarnya analogi jantung itu, bila diikuti secara konsisten, justru mengkonfirmasi cacat desain:
Itu bukan penguatan keadilan, melainkan legitimasi dokter gadungan dalam dunia peradilan.
2. Hakim Adalah Penjaga Konstitusi, Bukan Auditor yang Diberi Palu
Dalam tulisannya, Dudi menekankan betapa kompleksnya sengketa pajak: transfer pricing, nilai pabean, arm’s length principle, metode WTO, dan seterusnya.
Benar. Sengketa pajak memang teknis.
Tetapi kompetensi teknis bukan inti profesi hakim.
Hakim, entah di peradilan umum, agama, TUN, militer, maupun pajak, pada dasarnya adalah:
Untuk pekerjaan seperti ini, keterampilan utama bukanlah:
“bisa membaca neraca dan transfer pricing report”
melainkan:
“mampu menafsir undang-undang, menangkap asas keadilan, menilai alat bukti, menimbang hak dan kewajiban warga negara”.
Keahlian akuntansi dan ekonomi bisa dihadirkan melalui ahli yang memberikan keterangan di persidangan.
Tapi posisi hakim — orang yang memutus — seharusnya tetap dipegang oleh mereka yang terlebih dahulu menjadi “dokter umum” di dunia hukum.
3. Dua Atap Pembinaan: Hakim Pajak Pegawai Yudikatif atau Bawahan Fiskus?
Dudi mengakui bahwa mayoritas hakim pajak berasal dari Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai, dan hal itu “menimbulkan persepsi publik mengenai konflik kepentingan,” meski ia menenangkan pembaca dengan menyebut data bahwa wajib pajak sering menang perkara.
Di sini ada dua masalah besar yang diremehkan:
a. Dualisme Pembinaan: MA vs Kementerian Keuangan
Sampai Putusan MK No. 26/PUU-XXI/2023, Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU 14/2002 menempatkan Pengadilan Pajak di posisi serba tanggung:
Mahkamah Konstitusi menilai konstruksi ini mengurangi kebebasan hakim dan bertentangan dengan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka. Karena itu MK memerintahkan agar pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dialihkan sepenuhnya ke Mahkamah Agung dengan tenggat waktu (yang kini diperpanjang dalam praktik sampai 2026/2027).
Artinya, apa yang bagi Dudi tampak sebagai sekadar “persepsi publik” tentang konflik kepentingan, bagi Mahkamah Konstitusi sudah diakui sebagai problem konstitusional yang harus diperbaiki.
b. Independensi Tidak Bisa Diukur dari Persentase Menang Kalah
Dudi mencoba menepis isu independensi dengan menyatakan bahwa “fakta empirisnya menunjukkan pihak wajib pajak lah yang lebih banyak memenangkan perkara di Pengadilan Pajak”.
Ini argumen yang menyesatkan karena:
Jadi, mengatakan “wajib pajak sering menang, berarti tidak ada masalah independensi” adalah simplifikasi yang menutup mata terhadap problem desain kelembagaan.
4. “Sarjana Lain” Sebagai Sumber Kekhususan? Justru Sumber Kerentanan
Dudi memuji Pasal 9 UU 14/2002 sebagai “terobosan radikal” karena membuka pintu bagi sarjana non-hukum untuk menjadi hakim pajak.
Pertanyaannya:
apakah benar ini kekuatan, atau justru cacat desain yang bersolek sebagai inovasi?
Beberapa poin kritis:
Jika kita kembali ke analogi dokter, publik pasti menolak keras:
“Spesialis jantung boleh dari sarjana matematika,
asalkan pandai menghitung dosis obat.”
Tetapi justru skema seperti ini yang sedang dinormalisasi di dunia peradilan pajak.
5. Jalan Keluar: Jadikan Hakim Pajak “Dokter Hukum Spesialis Pajak”
Alih-alih mempertahankan skema “spesialis tanpa dokter umum”, reformasi peradilan pajak seharusnya diarahkan pada:
Dengan demikian, analogi dokter tadi bisa ditegakkan secara benar:
Jangan Jadikan “Kekhususan” Alasan Mengabaikan Fondasi
Tulisan Dudi Wahyudi ingin menyampaikan bahwa hakim pajak adalah profesi sui generis yang unik: yuris yang berpikir seperti akuntan dan ekonom.
Tidak ada yang salah dengan ambisi itu.
Yang bermasalah adalah ketika keunikan dan kekhususan dijadikan alasan untuk:
Kalau kita sungguh-sungguh mau menjadikan Pengadilan Pajak sebagai “ruang operasi jantung” keadilan fiskal, maka resepnya sederhana:
Bangun dulu fondasi “dokter umum” di bidang hukum,
baru bicara spesialis.
Segala bentuk “spesialis” yang tidak melewati jalur itu — betapapun mahir bicara teknis pajak — akan selalu tampak di mata publik sebagai spesialis yang berdiri di atas fondasi rapuh. Dan untuk lembaga yang memegang nasib triliunan rupiah dan hak konstitusional wajib pajak, itu adalah risiko yang terlalu mahal untuk dibiarkan.
Kategori: