Kategori:
Grand Slipi Tower, Unit 36-E Perkantoran. Jalan. Kota Adm Jakarta Barat
Grand Slipi Tower, Unit 36-E Perkantoran. Jalan. Kota Adm Jakarta Barat
Pernahkah Anda menerbitkan Faktur Pajak tanpa menyertakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang seharusnya ada? Hati-hati, karena hal ini termasuk dalam kategori Faktur Pajak tidak lengkap dan bisa berujung pada sanksi denda yang signifikan. Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), memahami aturan terkait Faktur Pajak adalah keharusan, terutama dengan akan beroperasinya Coretax System yang baru. Kesalahan kecil seperti ini bisa berdampak besar pada kepatuhan pajak Anda.
Faktur Pajak dianggap tidak lengkap jika tidak diisi secara penuh, jelas, dan benar, serta tidak memuat keterangan yang diwajibkan. Beberapa contohnya meliputi:
Ketentuan mengenai informasi yang wajib ada dalam Faktur Pajak ini diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) dan diperinci lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 (dan perubahannya, PER-11/PJ/2022) tentang Faktur Pajak. Khususnya, Pasal 6 ayat (6) PER-03/PJ/2022 menegaskan bahwa NIK atau nomor paspor wajib dicantumkan untuk pembeli orang pribadi yang tidak ber-NPWP.
Jika PKP menerbitkan Faktur Pajak yang tidak lengkap, sanksi administrasi yang menanti adalah denda sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Dasar hukum sanksi ini dapat ditemukan pada Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), tepatnya Pasal 14 ayat (1) huruf e dan Pasal 14 ayat (4). Perlu diketahui bahwa ketentuan sanksi ini telah mengalami penyesuaian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan kemudian dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebelumnya, denda yang dikenakan adalah 2% dari DPP.
Selain denda bagi PKP penjual, Faktur Pajak yang tidak lengkap juga berdampak pada PKP pembeli. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan. Ini berarti PKP pembeli tidak bisa mengurangi PPN Keluaran mereka dengan PPN yang seharusnya sudah mereka bayar, sehingga berpotensi menyebabkan kerugian finansial.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 9 ayat (2b) dan ayat (8) huruf f UU PPN.
Dengan diperkenalkannya Coretax System, penerapan aturan mengenai Faktur Pajak tidak lengkap dan sanksinya akan mengalami perubahan signifikan, terutama dalam hal deteksi dan validasi. Coretax System dirancang untuk mengintegrasikan dan mengotomatisasi seluruh proses bisnis perpajakan, yang akan memengaruhi bagaimana pelanggaran tersebut dideteksi dan ditindaklanjuti.
Memastikan setiap Faktur Pajak diterbitkan dengan lengkap, jelas, dan benar adalah kewajiban mutlak bagi setiap PKP. Ketidakpatuhan, sekecil apa pun itu, bisa berujung pada sanksi denda dan kerugian pajak lainnya. Dengan kehadiran Coretax System, kepatuhan ini menjadi lebih krusial karena sistem akan secara proaktif memvalidasi data dan mendeteksi ketidaksesuaian. Selalu perbarui pemahaman Anda tentang peraturan perpajakan terkini dan beradaptasi dengan sistem baru untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Semoga informasi ini bermanfaat dan memberikan kejelasan bagi Anda dalam menerbitkan Faktur Pajak di era sistem perpajakan yang baru.
Oleh : Dharmawan, SE.SH.MH.BKP,CCL.
Sekjen Perkumpulan Profesi Pengacara, Praktisi Pajak Indonesia (P5I) dan Pembina Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)
Email: [email protected]
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.
Kategori: