Kategori:
Grand Slipi Tower, Unit 36-E Perkantoran. Jalan. Kota Adm Jakarta Barat
Grand Slipi Tower, Unit 36-E Perkantoran. Jalan. Kota Adm Jakarta Barat
Jakarta, 28 Mei 2025 — Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia (PERKOPPI), Prof. Adv. Dr. Gilbert Rely, menegaskan bahwa batas waktu pemeriksaan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK), bukanlah sekadar indikator administratif untuk mengukur kinerja aparatur Direktorat Jenderal Pajak (DJP), melainkan norma hukum yang memiliki daya ikat bagi negara dan wajib pajak.
Pernyataan itu disampaikan Gilbert dalam Seminar Nasional Pajak bertajuk “Pemeriksaan Pajak Lewat Batas Waktu Tidak Membatalkan SKP Meskipun Merupakan Amanat Undang-Undang” yang diselenggarakan pada Selasa, 27 Mei 2025 oleh P5I (Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia) dan didukung oleh IWPI (Ikatan Wajib Pajak Indonesia) sebagai sponsor utama. Acara tersebut berlangsung di Hariston Hotel & Suites, Jakarta Utara, dan dihadiri oleh lebih dari 120 peserta dari kalangan pengacara, konsultan, akademisi, serta komunitas wajib pajak.
Dalam paparannya, Gilbert mempertanyakan logika hukum yang menyatakan bahwa pelanggaran terhadap batas waktu pemeriksaan tidak membatalkan keabsahan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Ia menyebut hal ini sebagai bentuk kekacauan interpretasi yang mencederai asas kepastian hukum dan perlindungan prosedural bagi wajib pajak.
“Kalau memang batas waktu pemeriksaan hanya untuk indikator kinerja internal DJP, mengapa aturan tersebut dimasukkan dalam UU dan PMK yang sifatnya mengikat? Ini bukan sekadar petunjuk teknis,” tegas Gilbert.
Lebih lanjut, ia mengangkat dilema yuridis yang muncul dari Putusan Mahkamah Agung No. 1633/B/PK/Pjk/2024, yang dalam putusannya memperkuat pandangan DJP bahwa batas waktu pemeriksaan hanyalah mekanisme administratif yang tidak memengaruhi keabsahan hasil pemeriksaan.
Gilbert menyampaikan tiga pertanyaan mendasar yang perlu dijawab oleh pembuat kebijakan dan lembaga penegak hukum:
“Jangan sampai hukum dibuat hanya untuk mengatur rakyat, tapi tidak mengikat negara. Itu bukan negara hukum, tapi negara kekuasaan,” pungkasnya.
Di sisi lain, Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, yang turut hadir sebagai pembicara dan sponsor utama, mengkritisi keras sikap DJP yang cenderung menormalkan pelanggaran tenggat waktu pemeriksaan.
“Ketika DJP menyatakan SKP tidak bisa dibatalkan walau melewati batas waktu pemeriksaan, itu sama saja dengan mengatakan DJP boleh melanggar Undang-Undang dan PMK yang jelas-jelas mengatur hal itu. Ini preseden buruk dalam penegakan hukum perpajakan,” ujar Rinto.
Menurut Rinto, sikap tersebut memperlemah posisi wajib pajak dan membuka ruang arbitrer yang tidak sehat dalam relasi antara negara dan warga negara dalam konteks perpajakan.
Seminar yang juga menghadirkan tokoh-tokoh nasional seperti Dr. Richard Burton (Iustitia Pro Tax Law Firm / P3HPI), Dr. Alessandro Rey (Ketua Umum P5I), dan Yeka Hendra Fatika (Anggota Ombudsman RI), menjadi forum terbuka untuk menggugat kekacauan sistemik dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak di Indonesia.
Sebagaimana ditegaskan Gilbert dalam penutupan sesinya:
“Kepastian hukum itu hanya bisa tegak jika negara juga tunduk pada hukum. Kalau DJP bisa langgar waktu dan tetap sah, maka keadilan tinggal retorika.”
Sebagai Informasi panitia sudah mengundang pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai pemateri, dan panitia sudah dihubungi staff DJP namun sampai acara berlangsung tidak ada perwakilan DJP yang hadir.
Kategori: