Grand Slipi Tower, Unit 36-E Perkantoran. Jalan. Kota Adm Jakarta Barat

image

Jakarta, 28 Mei 2025 — Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, A. Md., CTP, kembali menegaskan bahwa Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan berdasarkan pemeriksaan yang melebihi batas waktu yang diatur undang-undang seharusnya dinyatakan tidak sah secara hukum. Hal itu ia sampaikan dalam forum Seminar Nasional Pajak yang diselenggarakan oleh P5I (Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia) pada Selasa, 27 Mei 2025 di Hariston Hotel & Suites, Jakarta Utara, dengan IWPI sebagai sponsor utama.

Seminar yang mengangkat tema “Pemeriksaan Pajak Lewat Batas Waktu Tidak Membatalkan SKP Meskipun Merupakan Amanat Undang-Undang” ini menjadi panggung kritik terbuka terhadap penafsiran sepihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menyatakan bahwa pemeriksaan pajak di luar tenggat waktu tidak berakibat hukum terhadap keabsahan SKP. Pernyataan tersebut sebelumnya diberitakan oleh media DDTC pada 21 Maret 2025, merujuk pada Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 1633/B/PK/Pjk/2024.

Rinto menilai pandangan DJP tersebut sangat berbahaya dan berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum perpajakan di Indonesia.

“Ketika DJP menyatakan SKP tidak bisa dibatalkan walau melewati batas waktu pemeriksaan, itu sama saja dengan mengatakan DJP boleh melanggar Undang-Undang dan PMK yang jelas-jelas mengatur hal itu. Ini preseden buruk dalam penegakan hukum perpajakan,” tegas Rinto dalam paparannya.

Menurut IWPI, pemeriksaan pajak adalah proses hukum formal yang tunduk pada norma prosedural dan materiil, bukan sekadar mekanisme administratif internal DJP. Rinto merujuk pada Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang KUP yang secara eksplisit menyebutkan bahwa tata cara pemeriksaan mencakup jangka waktu pelaksanaan dan tahapan penyampaian hasil kepada wajib pajak.

Ia juga mengutip Pasal 15 ayat (2) PMK No. 17 Tahun 2013, yang menyatakan bahwa untuk pemeriksaan lapangan, jangka waktu pengujian maksimal adalah 6 bulan sejak penyampaian surat pemberitahuan pemeriksaan hingga disampaikannya Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Pelanggaran terhadap ketentuan ini, menurutnya, merupakan cacat prosedural yang seharusnya membatalkan produk hukumnya.

“Negara ini adalah negara hukum, bukan negara kinerja. Yang dijadikan tolok ukur adalah hukum, bukan target administratif. Jika kita mengabaikan aturan main, maka keadilan perpajakan tidak akan pernah tercapai,” lanjut Rinto.

Pernyataan Rinto mendapat dukungan dari berbagai tokoh hukum pajak yang juga hadir dalam forum, termasuk Dr. Alessandro Rey, pakar hukum perpajakan dari Universitas Sahid Jakarta dan Ketua Umum P5I.

Rey menguatkan bahwa batas waktu pemeriksaan adalah unsur legal yang mengikat, bukan sekadar alat manajemen. Ia merujuk pada Pasal 66 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014 yang menyebut bahwa keputusan administratif dapat dibatalkan jika terdapat cacat wewenang atau pelanggaran prosedur.

“Undang-undang dibuat untuk mengatur relasi antara negara dan warga negara, dalam hal ini DJP dan wajib pajak. Tidak bisa kemudian dibelokkan untuk hanya menjadi alat ukur internal,” ujar Rey.

“Jika SKP diterbitkan dari proses pemeriksaan yang cacat, maka produk hukumnya pun cacat. Tidak boleh ada pembenaran atas pelanggaran hukum hanya karena institusi tersebut adalah negara,” tambahnya.

Sementara itu, Yeka Hendra Fatika, Anggota Ombudsman Republik Indonesia, dalam kesempatan yang sama juga menegaskan bahwa pemeriksaan pajak yang melewati batas waktu merupakan bentuk maladministrasi. Ia menyebut bahwa semua pelayanan publik, termasuk pemeriksaan pajak, harus tunduk pada aturan dan transparansi.

“Kalau melewati batas waktu, itu maladministrasi. Regulasi itu mengikat ke dalam dan keluar, bukan hanya untuk kinerja internal,” ujar Yeka.

Gilbert Rely, Ketua Umum PERKOPPI, menyuarakan dilema yang kini terjadi antara hukum dan praktik fiskal. Menurutnya, apabila peraturan yang jelas dalam UU dan PMK hanya dijadikan sebagai indikator kerja pegawai, maka substansi hukum telah diselewengkan.

“Apakah kita hanya menulis hukum untuk dibaca pegawai pajak, tapi tidak untuk melindungi warga negara? Jika begitu, kita sedang berjalan mundur dari prinsip negara hukum,” kata Gilbert.

Dengan semangat memperjuangkan keadilan dan kepastian hukum, IWPI menyerukan kepada pemerintah, pembuat kebijakan, dan aparat penegak hukum untuk tidak membiarkan penafsiran yang membahayakan prinsip hukum tersebut terus berlangsung. Rinto menutup sesi dengan ajakan kepada seluruh elemen masyarakat untuk ikut mengawal reformasi perpajakan agar tidak hanya berorientasi pada penerimaan negara, tetapi juga menjunjung tinggi nilai keadilan, transparansi, dan kepastian hukum.

“Jika pemeriksaan pajak bisa dilakukan sesuka hati tanpa batas waktu dan tetap sah, maka itu bukan reformasi pajak, tapi regresi hukum,” tutup Rinto dengan nada tegas.

Sebagai Informasi panitia sudah mengundang pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai pemateri, dan panitia sudah dihubungi staff DJP namun sampai acara berlangsung tidak ada perwakilan DJP yang hadir.

Kategori: