Grand Slipi Tower, Unit 36-E Perkantoran. Jalan. Kota Adm Jakarta Barat

image

Keluhan keras disuarakan oleh seorang warga bernama Antono dalam sebuah video yang dipublikasikan oleh kanal YouTube Pajaksmart dan podcast Ikatan Wajib Pajak Indonesia, dengan judul sama yaitu "Rakyat Jelata Harus Viral Dulu Baru Bisa Dapat Keadilan??". Antono dengan lantang menyampaikan ketidakadilan yang ia alami dalam proses pemeriksaan pajak oleh KPP Pratama Bojonegoro.

Melalui podcast Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Antono membeberkan bahwa keluhan ini bukan tanpa dasar. Dalam penuturannya, Antono menjabarkan kronologi dugaan tindakan semena-mena yang dilakukan oleh oknum petugas pajak, dengan rincian sebagai berikut:

  • 2017: Antono pertama kali didatangi petugas pajak dan diminta membayar pajak senilai Rp39 juta. Ia menolak karena merasa tidak sesuai.
  • Beberapa bulan setelahnya: Surat tagihan denda sebesar Rp740 juta dikirimkan. Lagi-lagi, ia abaikan karena dianggap tidak masuk akal.
  • Tahun 2024:
    • Ia kembali menerima surat tagihan senilai Rp300 juta, lalu beberapa minggu kemudian jumlah itu melonjak menjadi Rp7,1 miliar.
    • Ironisnya, petugas pajak menawarkan "pemutihan" jika Antono bersedia membayar sekitar Rp600 juta. Baginya, ini adalah bukti nyata bahwa sistem bisa "dimainkan".
    • Setelah menolak dan menyebut dirinya tidak sanggup, Antono justru diancam pidana.
    • Belum selesai di situ, ia kembali menerima surat tagihan. Kali ini sebesar Rp10,4 miliar.

Antono dengan tegas menyatakan bahwa ia merasa bukan sedang menghadapi hukum, melainkan pemerasan terselubung. Ia mempertanyakan keabsahan perhitungan pajak yang dilakukan oleh petugas KPP Pratama Bojonegoro.

Rinto Setiyawan, selaku Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia mengungkapkan adanya dugaan bahwa nominal tagihan itu dihitung berdasarkan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) sebesar 30%, padahal menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto, NPPN untuk wilayah Bojonegoro seharusnya hanya 20%. Penggunaan tarif lebih tinggi ini tidak hanya tidak sesuai, tetapi juga membebani wajib pajak secara tidak wajar.

Selain itu, Rinto menjelaskan bahwa adanya denda maksimal 2% per bulan hingga 24 bulan membuat nominal akhir melonjak drastis. Karena tahun pajak yang diperiksa adalah 2020 dan baru diperiksa pada 2024, akumulasi denda dalam waktu tersebut bisa mencapai sekitar Rp3 miliar.

Namun yang lebih mengejutkan, dokumen pemeriksaan dan denda tersebut bukan atas nama Antono, melainkan anaknya. Meski begitu, justru Antono yang diminta hadir ke kantor pajak. IWPI menyebut hal ini sebagai kesalahan prosedural serius, karena pemanggilan tidak dilakukan kepada pihak yang sesuai.

Dalam podcast tersebut, Rinto menanyakan apakah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pernah memberikan edukasi perpajakan kepada Antono, termasuk tentang PPN, PPh Pasal 21, 22, 23, 25, dan 29. Namun, Antono dengan tegas menjawab tidak pernah.

“Aparat pajak hanya fokus pada nominal omzet dan tidak peduli pada kondisi riil di lapangan. Mungkin saja kantor pajak di Bojonegoro sebagai sarang mafia, karena sempat diliput oleh televisi, namun tayangannya diduga dihentikan karena ada ‘main belakang, “ jelas Antono.

Sementara itu, menurut tayangan Video di Pajaksmart, Antono menyampaikan pesan tajam kepada para pejabat tinggi negara, dari Kepala KPP Bojonegoro, Kanwil DJP Jatim II, Dirjen Pajak, Menteri Keuangan, hingga Presiden RI, Prabowo Subianto.

Dalam narasi yang penuh tekanan, ia mengingatkan bahwa sebelum terpilih, Prabowo pernah berjanji akan membela rakyat kecil dan memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Namun realitas hari ini, menurutnya, justru memperlihatkan bahwa "wong cilik" masih menjadi korban dari sistem yang tidak adil.

“Kalau saya telat bayar pajak, langsung dikejar-kejar. Tapi oknum yang ‘memainkan’ pajak kok tidak ditindak? Kami rakyat kecil hanya bisa berharap pada Presiden, tapi kalau harapan itu tidak terpenuhi, kami akan mencari pemimpin baru yang betul-betul berpihak pada rakyat,” ujar Antono.

Wajib Pajak adalah penyumbang utama APBN hingga 82%, sehingga seharusnya mendapat perlakuan yang adil, bukan ditekan. Negara akan kuat jika fiskus bekerja sesuai aturan dan wajib pajak membayar sesuai kemampuan dan kewajibannya.

Antono berharap kisahnya ini menjadi pelajaran dan pembuka mata bagi seluruh pihak. Ia mengajak masyarakat untuk tidak takut, tidak kompromi, dan tidak “damai-damaian” dengan oknum petugas pajak, agar praktik-praktik intimidatif bisa dihentikan.

Kategori: